Lomba Blog Depok


kunjungi : lomba blog depok

Selasa, 27 Juli 2010

Antara Aku, Sunny, dan Kota Depok - Part III ~ The Impossibility of Us

Seolah mati rasa, hampa tidak terasa, adegan action seru menegangkan dari Mission Impossible III yang diperankan oleh Tom Cruise berlalu kosong di depan mata. Sementara ragaku gontai duduk bersandar di kursi row G seat 15, yang empuk berlapis beludru bagaikan duduk di atas batu. 21 Cineplex Depok Town Square berhawa sejuk nyaman berubah gersang meradang.

Tepat disampingku Sunny duduk bungkam bertingkah kaku. Pipi chubby merah jambu yang selalu kupuja bak semanis dan serenyah buah apel seolah berubah menjadi buah senyum yang masam. Tidak ubahnya buah lobi-lobi merah ranum namun kecut, sungguh teramat kecut. Sikapnya seperti orang asing disampingku membuatku terasa seperti kacung. Ramahnya hilang menjadi ketus. Hasrat kami terasa hambar. Sikap care menjadi who cares.

Soundtrack instrumental khas film Mission Impossible karya komposer Lalo Schiffrin berdentang mengakhiri film action itu. Lampu bioskop sudah menyala terang. Para pengunjung, baik yang datang sendirian, berpasangan, atau berkelompok dengan tertib sudah mulai bubar menuju pintu EXIT. Tapi kami masih santai duduk dengan malasnya. Aku lirik Sunny, dia masgul, raut mukanya sepat, kedua bibirnya sinis mencibir.

Kami bicara hanya seperlunya, "Din, elo nanti temenin sebentar ke Margo City ya, ada yang mau gw beli, sebentar, udah itu langsung pulang." Ucap Sunny ketus.

Sebelumnya tidak pernah ada dalam kamus bicara padaku, Sunny memakai kata 'gw'.

Begitu juga kata 'elo', selalu dia ucapkan dengan kata : say, yang, han, bahkan terkadang, Mas. Aku jawab cukup dengan isyarat mengangkat alis, sorot mataku kosong. Kami diam membisu cukup lama.

"Keren ya filmnya?" Tanyaku, ingin memecah kebekuan.

"Ayuk keluar, katanya mau ke Margo City?" Sunny tetap diam.

"Sudah jangan marah terus." Aku paksakan tersenyum.

"Ayo bangun sayang," sambil kutawarkan tanganku untuk dia gapai. Tapi ditepisnya bak menghalau lalat, sambil mulutnya mendecak kesal. Matanya mencuri pandang padaku sepersekian detik. Persis anak balita yang sedang ngambek sama ibunya.

"Din, maaf ya, kalau aku hari ini pakai baju nga sopan," sambut Sunny OOT, dan langsung mengeluarkan unek-unek.

"Kamu tau nga? Tadi aku beli jaket seharga hampir 700 ribu cuma buat memenuhi selera kamu. Sampai aku bela-belain bayar gesek pakai kartu kredit. Buat nutupin aurat, biar bikin kamu nga riskan jalan denganku, biar kamu nyaman, biar kamu senang, biar kamu berhenti mengejek kalau aku ini berpakaian seperti mucikari. Tapi tega-teganya kamu tinggal pergi aku sambil ngambek, dan enak-enakan makan sendirian. Kamu pikir aku nga butuh kenyamanan juga? Memangnya yang butuh makan siang cuma kamu saja ya?" Sunny marah serius, namun intonasi suaranya tetap tenang. Aku hanya diam, tanpa penyesalan.

Kalau dicermati secara sekilas ucapan Sunny itu, aku ini egois sekali bukan? Baiklah kalau memang demikian, aku terima tuduhan itu. Tapi dengarkan dulu pembelaanku, agar jelas sebab-musababnya.

Siang itu kami janjian bertemu di Detos. Sudah hampir 2 jam lebih aku berdiri menunggu, namun Sunny belum datang juga. Sementara jam sudah menunjukan pukul 13 lewat. Pagi itu berhubung hari libur, aku bangun agak siang. Saat pergi aku belum sempat sarapan sedikitpun. Maklumlah anak kost, makan minum harus beli terlebih dahulu. Aku pikir nanti saja sekalian makan siang di Detos dengan Sunny. Saat jengkel kelamaan menunggu, dan lapar menjadi satu, Sunny datang tanpa permohonan maaf sama sekali atas keterlambatannya. Terlebih lagi, cara dia berpakaian ketat agak terbuka membuatku riskan. Karena emosi kata "mucikari" terucap lepas kendali. Aku menyesal telah mengucapkan kata itu, sungguh amat menyesal.

Lalu aku sarankan agar dia berganti pakaian dengan kubelikan baju biasa dulu untuk sementara. Sunny setuju, lalu kami ke gerai pakaian.

Waktu terus berjalan, sudah hampir jam 14 hanya untuk mencari baju pengganti, dan belum dapat juga. Aku katakan, "Beli yang mana saja, jangan pilih-pilih, untuk dipakai sekali ini saja, nanti tidak dipakai lagi juga tidak apa-apa," tapi Sunny tetap santai pilah-pilih hanya untuk mencari baju sesuai seleranya. "Dasar betina", gerutuku.

Lama-kelamaan perutku semakin keroncongan, lapar hebat, tanganku sudah agak gemetar. Daripada penyakit maagku kambuh, maka aku minta ijin untuk makan duluan, sementara dia terus mencari baju pengganti yang ia inginkan, lalu menyusul aku jika sudah dapat. Begitulah ceritanya.

Usai dari bioskop, kami keluar melalui pintu utama Detos menuju Margo City Square yang berada diseberang. Hiruk-pikuk kendaraan, lalu-lalang menyesaki jalanan Kota Depok yang beberapa puluh tahun lalu -katanya- masih didominasi oleh Delman dan Becak.

Di luar, mentari sudah terlihat condong ke Barat. Kilaunya mulai menguning. Pancaran sinarnya sedikit tertutup gumpalan awan putih, sehingga menghasilkan ray of light bergaris-garis lurus memencar seperti kilatan pedang tembaga.

Sore itu udara terasa amat sejuk. Bekas hujan lebat siang tadi masih tersisa. Genangan air jernih di jalanan beraspal dan paving blok menjadi cermin bagi gedung, awan, dan langit di sekitarnya. Sesekali gerimis hujan jatuh mengguyur disertai angin lembut, rintiknya bagaikan butiran gula pasir yang ditabur dari langit. Di sisi Timur, di atas atap Margo City Square yang bentuknya mirip harpa raksasa, tampak kombinasi warna Me Ji Ku Hi Bi Ni U melukis pelanggi tipis, melengkung dari Utara ke Selatan. Terlihat barisan burung Bangau putih terbang berkelompok membentuk huruf V beraturan.

Sejatinya suasana seperti itu menjadi suasana yang amat indah bagi kami. Tapi rintik hujan lembut bagaikan taburan gula pasir yang menaburi rambut hitam Sunny, dimataku sudah seperti butiran racun arsen yang mematikan. Cermin wajah kami pada genangan air di paving blok jelas merepleksikan aura permusuhan. Lakon yang kami mainkan bukan lagi jenis cerita romantis, tapi kaku bagai pertunjukan Pantomim.

Meskipun masih berjalan beriringan, tapi rasa bangga menjadi pelindung dan pendamping setia 'bidadari' ini juga sudah pudar. Aku sama sekali tidak bisa mengimbangi gemulai cara berjalan Sunny. Jika biasanya kami berjalan seperti pasangan dansa, baik leader maupun follower bergerak seimbang seirama, sekarang gerakan kami sudah seperti bermain bola antara gelandang dan striker.

"Din , lo jalan jangan cepet-cepet donk, kalo udah nga mau nemenin ya sudah pulang sana!" Sunny sudah mulai emosi.

"Buruan, udah mau hujan nih, ntar kalau kehujanan kamu bisa sakit," alasanku.

"Ah jangan sok perhatian gitu deh, emangnya kalo gw sakit elo peduli apa?!"

Tidak ada gunanya aku meladeni ocehan emosional macam Mak Lampir kehilangan tongkat saktinya ini. Kalau marah sudah meliputi hati, yang manis jadi pahit, yang benar selalu dipastikan salah.

Kini kami mulai memasuki Margo City. Gedung ini terkesan lebih nyaman daripada Detos. Ruangnya lumayan luas, tampak modern dan dinamis. Bangunannya memiliki luas hampir 7 hektar. Dengan tinggi 40 meter dan memiliki 4 lantai yang terdiri dari Basement, Lantai Dasar, Lantai I, dan Lantai II. Lengkap dengan Eskalator, Travelator, dan Lift guna kenyamanan pengunjungnya. Tiap-tiap lokasi memiliki nama zona berbeda sesuai peruntukannya. Margo Zone untuk tempat penjualan makanan, minuman, dan restoran. Margo City untuk tempat beragam gerai pakaian, asesoris, dan life style, serta O-Zone yang berada di luar area sebagai arena bermain dan olahraga.

Bagaikan manusia transparan yang ada bersamanya, aku sudah tidak dianggap. Tanpa basa-basi denganku, Sunny masuk ke sebuah salon kecantikan. Dia meminta Hair Rebonding Treatment. Tampak sudah terbiasa menggunakan jasa salon itu, tanpa canggung dia langsung dilayani sesuai permintaan. Setahuku proses rebonding butuh waktu lama, padahal dia bilang hanya mau beli sesuatu dan sebentar saja di Margo City, setelah itu langsung balik. Sekali lagi akhirnya aku harus menunggu. Menyebalkan!

Waktu sudah pukul 17:00, lalu aku Shalat Ashar. Sejam kemudian masuk waktu Magrib aku shalat lagi. Sudah 2 waktu shalat tapi proses pelurusan rambut itu belum selesai juga. Sebentar lagi sudah masuk waktu Isya, dan masih tidak ada tanda-tandanya Sunny mau selesai. Mungkin nanti jam 19:30 pikirku. Tapi sudah jam 20:00 masih belum selesai juga! Aku coba masuk melihat ke dalam.

"Masih lama ya", tanyaku pada Sunny. Dia tidak menjawab, wajahnya menoleh ke arah lain. Sialan, aku dikacangin.

Aku tunggu dekat resepsionis tidak jauh dari Sunny direbonding, karena salon itu tidak luas. Ku lihat dia, sambil tertawa, online dengan seseorang. Samar-samar aku dengar dia memanggil nama sesorang, iya, nama seseorang. Nama seseorang yang telah sekian lama membuatku gusar. "Sang mantan!".

Betul tidak salah lagi, Sunny sedang online dengan mantannya.

Degup jantungku seolah berhenti berdetak. Mukaku merah padam, ingin sekali menangis saat itu. Hatiku nyeri, bagaikan tersayat sembilu. Tahukan engkau kawan, apa itu sembilu? Sembilu adalah pisau tipis yang dibuat dari kelat kulit batang bambu. Tajamnya setajam silet. Membayangkannya saja sudah membuat kita ngilu. Tapi kini, merah tua hatiku terasa sedang di letakkan di atas talenan, lalu diiris-iris dengan pisau sembilu oleh Sang Juru Masak : 'Chef Sunny'.

Lantas timbul dibenakku perasaan paranoid, seolah para penghuni salon yang kebanyakan para lelaki pecinta lelaki, dan bersuara gemulai juga serentak mengejeku, "ai aii, ini cowok gorjes deeh...sendirian aza suntuk cemberuut, ngapain siih, iih aike jadi gatel bo..."

Bulu romaku jadi merinding seperti ditiup setan, aku langsung keluar secepatnya.

Hmn baiklah kalau begitu, batas kesabaranku kini sudah habis. Lalu tanpa ijin denganya aku pulang sendiri. Hari itu, sudah berkali-kali aku terima ujian kesabaran dari Sunny dan hasilnya, tidak lulus.

Setelah sekian lama bersamanya, mulai dari beda cara pandang, krisis kepercayaan, egoisme, berujung pada keadaan bosan, jenuh, dan melelahkan, telah mengkondisikan sebuah keadaan rumit. Lalu semua kondisi itu teramu menjadi seongkok bubuk mesiu yang terpicu oleh percikan kecil hari ini sehingga tersulut dan meledak. Rasanya aku dan Sunny tidak tahan melewati ujian itu. Hingga dalam benak seolah kompak terbesit kalimat, "Kini saatnya kita sepakat untuk tidak sepakat!"

Seperti film kutukan, usai menonton film Mission Impossible, seolah berimbas pada masa depan hubungan kami menjadi impossible juga. Sejak itu hubungan kami perlahan rapuh kemudian hancur. Aku malas berhubungan dengan Sunny lagi. Kami benar-benar sepakat untuk pause hubungan ini. Biarlah Tuhan yang menentukan apa jadinya nanti.

Silahkan baca juga ...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar