Lomba Blog Depok


kunjungi : lomba blog depok

Minggu, 21 Desember 2008

Cim Iwil - Kisah Kasih di SMP

Rasa jealous menghantui perasaanku pada jam belajar siang itu. Sebal, tahu kalau Roy Ratuela si anak Manado itu pinjam pengaris pada Lidya adik kelasku yang ku taksir yang wajahnya mirip seperti Rosamund Kwan.

Tersirat sikap pamer padaku di wajah cowok flamboyan yang paling jago main voli di SMP ku itu seolah berkata "You are nothing man, gua ini idola para cewek se Sagadel". Sagadel nama lain dari SMPN negeri 138 Cakung Jakarta Timur yang ditenarkan oleh anak Pramuka.

Karena itu saat mata pelajaran biologi yang dibawakan oleh bu Kartijah serasa hambar bagiku, padahal menarik sekali bahasannya, Sistim Reproduksi Manusia. Anggota geng bengal pembuat onar di kelas tidak seperti biasanya tampak khusuk menyimak pelajaran yang satu ini. Memang benar, topik masalah sex akan selalu menarik dibahas dari sisi manapun , oleh siapapun, dimanapun dan sampai kapanpun.

Mereka semua tampak duduk manis menyimak pelajaran sex education itu di posisi duduk di pojok bangku deretan belakang, ya betul sekali Bro, posisi duduk kami mengingatkan kita dengan lirik lagunya Iwan Fals berjudul Jendela Kelas Satu.

Sarmili anak Kampung Jembatan si Betawi totok, Sutarji anak Penggilingan si penggila batu akik, Muardi anak komplek Aneka Elok teman curhatku, Dodo anak orang kaya yang suka mengajak kami jalan-jalan pakai Datsun Kebo milik Bapaknya, dan Herman si tukang potong ayam yang bercandanya selalu tidak jauh dari alat reproduksi.

Itulah anggota geng kami yang bernama Pelox yang artinya atau singkatan dari apa kami tidak tahu. Yang penting terdengar keren itu saja. Pemikiran yang sederhana bukan? Sederhana pemikiran alias bodoh memang.

"Teet..teet..teeet..!"
The bell rang. Artinya bel telah berbunyi seperti yang diajarkan oleh pak Jonanthan guru bahasa Inggris kami, tanda waktu istirahat atau turun main tiba.
In the bottom of my broken heart masih bertanya dengan sikap Lidya yang meminjamkan penggaris pada Roy. Ada apa dengan mereka?.

Saat turun main ini aku harus menemukan Lidya dan bertanya alasanya. Dari jendela kelas yang tak ada kacanya, dari sana pula aku mulai mencari dimana Lidya berada, ya sekali lagi benar Bro, kata itu mirip dengan lirik lagunya Jendela Kelas Satu Iwan Fals.

Biasanya Lidya selalu bersama teman wanitanya bernama Manurung yang pendiam itu. Nama depannya aku lupa. Entah kenapa teman-temanku yang berasal Sumatera Utara itu biasanya yang disebut dan dikenal hanya dari nama belakanganya. Terutama para guru yang temperamental dan sering terbajak Amigdala otaknya. Mereka itu ada Pak Sianturi, Pak Siregar, Ibu Simbolon dan lain-lain.

Ku fokuskan titik pencarianku di depan kantin tidak ada, di depan tata usaha tidak ada, di lapangan sekolah di antara kumpulan anak-anak yang sedang bermain voli juga tidak ada.Terngiang di telingaku lagu Lisa Stanfield mengiringi pencarianku itu.
"Been around the world and I..I..I."
"I cant find my baby..I dont know when I dont know why?"
"Why shes gone away..And I dont know where she can be, my baby."
"But Im gonna find her..huu huu huu."

Hanya Muardi yang biasa kutanyakan informasi tentang gadis itu. Kami suka mendiskusikan tentang karakter dan fisik gadis-gadis sekolah kami yg punya nilai wajah di atas rata-rata. Kami juga mempunyai nama sandi atau julukan tersendiri untuk gadis-gadis tersebut.

Untuk Lidya karena perawakannya seperti gadis Tionghoa atau memang sepertinya dia itu gadis keturunan aku juga tidak tahu pasti. Lidya kami beri nama sandi Cim Iwil seperti judul lagunya Doel Sumbang yang mengisahkan tentang gadis berkulit putih dan bermata sipit.

Ada kakak kelasku Tanti Tri Mulyanti yang amat cantik langsing mirip seperti Sherly Malinton kami beri nama sandi Kutilang. Ada juga dua orang anak kelas 2, Masayu dan Poppy yang wajahnya seperti Noni Belanda kami beri nama sandi Boneka 1 dan Boneka 2. Atau adik kelasku Ummi yang manis sekali, bisa dibilang semanis Chelsea Olivia tapi karena warna kulitnya yang hitam manis kami beri nama sandi Tempe Bongkrek.

"Elu ngeliat Cim Iwil nggak?" Tanyaku pada Muardi.
"Tadi gue liat di perpus" Jawabnya.
"Eh gue liat Roy pinjem garisan sama dia, kayaknya lagi ngedeketin tuh." Sambungnya canggung sambil garuk-garuk kepala seolah menyesal sudah memberikan informasi itu padaku.
"Hmn benar ternyata." Gumanku dalam hati.
Tanpa menjawab segera ku menuju Perpustakaan.

Melewati lapangan sekolah kami yang ramai. Kulihat Roy Ratuela dengan perasaan dongkol sedang berpasing ria dengan Junaeni. Mereka berdua The Best Volleyball Player di sekolah kami. Sementara ku lihat guru olahraga kami pak Sartono yang selalu memakai topi baseball berwarna merah plus kacamata hitam. Meskipun sedang mengajar di dalam kelas, tidak pernah dua asesoris itu dilepasnya.

Nampak pula pak John Hanif guru PMP kami yang berasal dari Minangkabau itu sedang ikut bermain basket. Kalau sekarang ada motivator seperti Tung Desem Waringin atau Mario Teguh mungkin dialah satu-satunya guru kami yang pantas disejajarkan dengan dua motivator ulung tersebut. Tidak pernah Aku lupa cara dia memotivasi murid-muridnya. Mengajarkan bagaimana pentingnya mandiri, cara berwirausaha, jangan pelit, bersyukur, dan menjadi orang Islam yang baik dan benar tentunya. Semua itu dia ajarkan pada kami dengan cara yang sangat fun, menarik dan jauh dari rasa bosan. Sayangnya beliau ini cukup tempramental. Kebiasaan jeleknya suka merokok di dalam kelas dan menampari murid-murid yang bersalah dengan koran atau buku absen yang selalu terselip di saku belakang celananya. Namanya juga manusia, no body's perfect Bro.

Perlahan sambil tengok kanan kiri aku berjalan melewati lapangan sekolah. Karena bisa saja guru BK kami pak Siregar yang super galak itu tiba-tiba melihat sepatu capung warna putih dengan dua strip biru yang ku pakai tanpa memakai kaus kaki. Dengan mengenakan tali sepatu hijau tidak diikat yang lebarnya lebih dari satu senti. Bisa tanpa ampun diambilnya. Padahal sepatuku ini baru saja dicuci dan sudah kuputihkan lagi dengan kapur tulis. Seperti sepatu Kasogi palsu kesayanganku dulu, yang kubeli di PIK Pulogadung, dia langsung mengambilnya karena aku pakai dengan cara diinjak seperti memakai sandal. Menyebalkan betul karena aku pulang sekolah tanpa alas kaki sambil naik omprengan mobil Doyok P29 jurusan Pulogadung - Simpangtiga.

Benar saja, Lidya yang aku cari baru saja keluar dari perpustakaan bersama Manurung. Terpana melihatnya aku langsung terhenti di depan tiang bendera. Sekali lagi ku tegaskan, ia mirip dengan bintang Mandarin Rosamund Kwan. Atau kalau sekarang bisa di samakan dengan Frida Lidwina si penyiar Metro TV itu.

Baiklah Bro, aku gambarkan perawakannya lebih detail. Lidya bermata sipit. Kulitnya putih seputih kapas, kalau dia sedang minum kopi seolah terlihat kopi mengalir di tenggorokannya. Rona pipinya merah muda seperti apel Fuji, dengan sedikit urat halus biru. Bulu lembut tampak samar di lengannya. Juga di kening dan cambang akan terlihat jelas jika rambutnya diikat. Hidungnya lancip seperti hidungnya Lindsay Lohan. Senyumnya manis, semanis es krim. Tawanya renyah, serenyah Pringles Potato Chips. Tingginya tidak kurang dari 160 sentimeter. Di punggung seragam putih yang dikenakannya ada garis-garis apik yang sengaja dibentuk dengan cara disetrika. Dengan rok warna biru selutut. Kaus kaki pink dengan paduan sepatu tenis putih bermerk Eagle.

Menurutku model anak sekolah seperti itu, ia pantasnya sekolah di Santa Ursula, Tarakanita, atau BPK Penabur. Tidak pantas dia sekolah di SMP Negeri kampung pinggiran Jakarta yang becek dan licin jalan masuknya bila musim hujan tiba, yang memaksa kami untuk melepaskan sepatu jika ingin melewati pintu gerbang sekolah.

Tapi FYI Bro, Lidya yang seperti amoy itu jangan kau pikir di Klenteng ibadahnya. Dia itu muslimah yang rajin shalat lima waktu. Aku juga rajin, tapi rajinnya kalau lihat dia sedang membawa mukena menuju Mushola sekolah kami, aku langsung tergopoh-gopoh mendahuluinya wudhu agar bisa jadi Imam shalatnya.

Di awal akil baliq saat umurku masih 13 tahun itu sepertinya inilah awal aku mengenal istilah naksir berat, cinta gila, alias mabuk kepayang pada seorang gadis. Kurang cocok disebut Cinta Monyet karena menurutku ini sudah menggebu-gebu. Cinta Gorilla yang paling cocok untuk namanya.

Seakan tahu kedatanganku, Lidya berjalan menghampiri. Ku lihat Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis di tangannya. Sepertinya dia sedang mengerjakan tugas dari guru bahasa Indonesia kami Pak Ketut. Serta-merta Manurung tanpa dikomando mundur teratur menjauh membaca situasi dan kondisi pertemuan kami sambil mesem-mesem genit menertawakan.

Coba kita perhatikan besarnya efek respon dari orang yg kita cintai atau sebatas informasi tentang dia sangatlah besar sekali. Meskipun respon tersebut amat sangat kecil, bahkan tidak pasti, dan mungkin saja hanya dusta. Kita jadi sangat bahagia hanya karena mendapat sapaan basa-basi darinya, menerima telepon darinya meskipun hanya Missed Call. Reply SMS darinya meskipun hanya sebatas maksimum lima character seperti ; "iya", "baik" atau "sudah".

Atau hal lain yang tidak bisa dijelaskan kenapa bisa begitu. Misalnya bahagia dengan hanya melihatnya dari jauh, mendengar ada yang menyebut namanya, mendengar suaranya, mendengar lagu kesayangannya, melihat YM_nya online meskipun idle dan tidak saling sapa, atau hanya dengan bertemu sahabat dekatnya, melihat rumahnya, melihat mobilnya, melihat warna kesukaannya, dan masih banyak lagi. Ya, cinta memang sungguh menyuguhkan segala sesuatu yang aneh-aneh Bro.

Kini Lidya sudah berada di hadapanku, ia melihatku agak mendongak keatas. Maklumlah saat kelas 2 SMP itu tinggiku sudah 173 sentimeter dengan berat 64 kilogram. Aku berdiri dengan gaya memasukan kedua tanganku di kantong celana persis seperti gayanya Richard Marx. Padahal saat aku sekolah di SMP Negeri itu seragamnya masih pakai celana pendek. Sungguh norak bukan?

"Tadi Roy pinjam garisan ke kamu ya? Tumben?" tanyaku pada Lidya.

Dengan penekanan kata "tumben" jika digali lebih dalam menjadi banyak arti seperti ; "Ada hubungan apa kamu dengannya?","Kamu naksir dia ya?", "Sudah lupa denganku?" Dan lain-lain.

Maklum sekali dalam usia semuda itu aku masih belum mampu merangkai kata seperti layaknya para pujangga gombal.

"Maksudnya?" Ia balik bertanya dengan nada polos dan heran.

Dari sekelumit ucapannya itu aku sudah tahu kalau prasangkaku ke dia salah. Sudah sering aku diajari moral agama oleh guru agama kami bu Naziarti yang mengajarkan untuk tidak berprasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. Tapi maklumlah kalau setan dalam hati ikut bicara. Aku masih penasaran.

Penasaran karena ada hasrat ingin memiliki sesuatu yang belum pasti atau sebab gejolak hati ingin memiliki sesuatu yang kita cintai tapi masih meragukan merupakan kasus paling umum dalam serba-serbi percintaan. Oleh produser acara TV yang jeli melihat peluang ini mereka lantas menjadikan masalah tersebut untuk dikomersialkan. Maka jadilah tayangan H2C harap-harap cemas, HTS hubungan tanpa status, atau Termehek-mehek.

"oo ngga apa-apa." jawabku seolah menyangkal kalau aku tidak pernah bertanya padanya.
"Tadi aku ketemu Roy dia titip salam sama kamu."

Sungguh memang cinta tidak mengenal logika, beberapa detik yang lalu aku menyangkal pertanyaanku sendiri, tapi saat itu juga aku spontan mengarang kalimat tanya itu hanya untuk mengujinya.

"Dari kamu aja deh salamnya" ujar Lidya sambil senyum tanpa menatap mataku.

Hanya lima kata yang terucap darinya, ucapan itu seolah mantra yang keluar dari mulut Ratu penyihir pada seseorang yg sudah terkena kutukan selama ratusan tahun sehingga dia terbebas dari kutukan itu. Aneh sungguh aneh, kalimat itu spontan memberi ku tenaga dalam. Seolah ada sinar kosmis yg jatuh di ragaku yang membuat fikiranku tenang, bahagia, dan anehnya lagi aku melihat semua temanku di sekolah menjadi bersahaja, semua guru tampak ramah, tidak ada yang galak.

Masih terpaku di bawah tiang bendera , aku masih terpengaruh lima kata mantra yang terucap darinya. Tiba -tiba tanpa terasa seolah tubuhku melayang hingga wajahku menyentuh bendera merah-putih yang sedang berkibar. Berkibar-kibar menampari mukaku seperti sedang membangunkan aku yang masih trance. Ya tidak begitu kejadiannya memang Bro. Tapi sulit kulukiskan perasaanku saat itu.

Samar-samar lagu Harry Moekti "Ada Kamu" dengan vokal gahar, jantan, dan lantang terdengar.

"Ada kamu sejak dijumpakuu, pada kamu ada sesuatu."
"Walau kamu tak cemerlang, bagai bintang di Langit biru yang menawan."

Terus mengalun sampai lirik yang terdengar seperti orang yang sedang mengeluh karena sakit perut.

"Adu du du du du duuu..kau tak percayaa.."

Hingga akhirnya berakhir dengan teriakan yang biasa diucapkan oleh vocalist Metallica, James Hetfield!

"Yeaah..yeaah..!"

-Base On True Story-

Catatan : Bro artinya teman, sobat atau kawan.