Lomba Blog Depok


kunjungi : lomba blog depok

Rabu, 28 Juli 2010

Antara Aku, Sunny, dan Kota Depok - Part IV ~ Sang Penasehat Sepiritual

Adalah Kevin Ahmad namanya, teman dekatku di kantor. Tinggal di Jalan Genta, Depok II Tengah. Begitu dekat aku dengannya, setiap hal yang aku alami dan rasakan tak akan jadi rahasia buat dia. Sebaliknya dia denganku pun begitu. Aku menjulukinya : Si Penasehat Sepiritual.

Kevin sudah lama berpacaran dengan Alice. Di hati mereka telah terjalin rasa suka sejak SMP. Belum pernah tergantikan. Kok bisa? Hmn boleh jadi karena mereka bertetangga sejak kecil. Sehingga sudah belasan tahun hubungan itu terjalin. Teramat dalam, terlalu lekat untuk bisa dipisahkan.

Namun ada hambatan paling sulit antara keduanya. Hingga menyebabkan halangan, dalam mensahkan hubungan mereka yang kini telah mapan dan dewasa. Sulit? Ya, tapi sulit buatan manusia itu sendiri, hanya karena gengsi strata hidup yang sudah mendarah daging dalam tradisi budaya turun-menurun, dan berlangsung berabad-abad menjadi penyebabnya.

Alice Dewianti adalah seorang putri pertama, keturunan berdarah ningrat asal tanah Sumatera, Lampung Pepadun. Ayahnya seorang Kepala Suku, pemangku adat, banyak pengikut setia, serta amat disegani di kampungnya. Karena Alice anak pertama dari 'Sang Raja', maka ia adalah seorang Putri Mahkota –calon ratu- bagi sukunya. Tidak boleh ada yang menikahinya kecuali keturunan dari para ningrat kalangan mereka sendiri. Jika hal itu dilanggar, tidak hanya melanggar tata krama adat, namun petaka yang akan didapat.

Aku ini, Didin Gumintang adalah keturunan Ambon, dengan kombinasi Jawa, dan Betawi. Kalau dirunut dari garis silsilah bapak, aku masih bisa menyandang nama Pam (marga bagi orang Indonesia Timur) di belakang namaku : Tapilatu. Konon kakekku adalah serdadu KNIL dari Maluku, antek Belanda, orang Jawa pribumi menyebutnya : Londo Ireng. Alkisah dia terdampar di tanah pasundan Pandenglang Banten saat revolusi fisik, lalu menikah dengan nenekku, gadis Betawi Bekasi yang tinggal di sana dan kemudian melahirkan Papaku, Yosef Tapilatu.

Lantas apa hubungannya cerita ini, dengan info silsilah, antara Aku, Kevin, dan Alice? Hehehe... Itu hanya sedikit intro saja kawan, agar kalian cukup mengenal asal muasal tokoh dalam cerita ini.

Kevin punya masalah tentang kelanjutan hubungannya dengan Alice, seperti yang telah aku ceritakan di atas. Sedang aku masih bimbang, antara ingin bebas lepas hubungan dengan Sunny atau berlanjut kembali, CLBK (cinta lama bersemi kembali). Sekarang ada dua lelaki memiliki masalah melankonis yang sama. Secara psikologis keadaannya tidak jauh berbeda. Penyebabnya, pun tidak jauh dari itu-itu juga, yakni wanita. Kalau kami sudah saling curhat bisa makan waktu lama, banyak biaya, dan tempat berbeda-beda.

Minggu ketiga, tanggal 23, hari H gajian masih tanggung. Biasanya kami nongkrong di Warga (Warung Gaul) sekitar jalan Margonda Raya atau di Mal dan Plasa sekitarnya. Untuk menghemat biaya, kami cukup nongkrong di warung Bakso Mas Katam, berada di Ruko depan jalan Proklamasi. Menunya murah meriah, rasanya sedap, lezat, mengenyangkan, dan ditanggung halalan thayyiban : Bakso, Mie Ayam, Es Campur, Jus, dan bermacam-macam minuman.

“Gimana Vin , udah ngobrol serius sama ayahnya Alice?”

“Tambah ruwet aja Din, Pak Zein, sekarang canggung kalau papasan sama gw, kayaknya dia udah mulai mencium hubungan deket gw sama Alice.”

Suntuk tampak terlihat pada wajah Kevin, dia mulai menghisap dalam-dalam rokok Sampoerna Mild Menthol kesukaannya.

“Semua keluarganya, baik ibunya, nenek, paman-pamannya kompak mulai menjaga jarak sama gw, cuma adik-adiknya aja yang masih mau ngobrol dan bergaul, itupun karena -sebagai tetangga- mereka sudah biasa berteman sejak kecil, meskipun dari gerak-gerik bahasa tubuh mereka terkesan : "sudahlah jangan berharap bisa mempersunting calon Ratu kami, dia sudah dijodohkan oleh adat istiadat leluhur kami sejak dari dilahirkan."

Di sisi lainnya, bagai durian dan mentimun, menurut Kevin mengupamakan perbedaan strata hidup keluarga mereka berdua. Orang tua Alice, memiliki lahan kelapa sawit produktif seluas ratusan hektar di kampungnya. Belum lagi peternakan sapi sebanyak ratusan juga. Secara pendidikan, mereka berdua S2 dalam bidangnya. Ayahnya sebagai PNS Golongan IV, Ibunya seorang Dosen. Sedangkan bapaknya Kevin hanya seorang pensiunan tentara dengan pangkat terakhir Serka, ibunyapun hanya ibu rumahtangga biasa. Tiada yang istimewa dari keduanya.

Pak Zein Abdullah, ayah Alice -meskipun seorang perantau- juga seorang tokoh masyarakat yang disegani di lingkungan sini, Jalan Genta, Depok II Tengah. Segala macam masalah Rukun Tetangga dari : kerja bakti, ribut antar pasturi, kerusuhan anak-anak muda antar gang, sampai acara kompetisi tujuhbelasan, selalu bisa ditangani olehnya dengan tangan dingin dan bijaksana. Bukti kalau dia itu memang benar-benar berjiwa leader tulen dari darah buay (keturunan) suku Lampung Pepadun yang terkenal masih menganut budaya Endogami.

“Jadi Alice itu udah dijodohin keluarganya Vin? Pernah tahu kayak apa itu cowok?”

“Nga pernah, tapi dari sekilas yang gw tangkep dari obrolan gw sama Alice, itu cowok emang bagus banget kualitasnya. Jelas keluarga ningrat di Lampung. Bisa jadi masih famili sama Pangeran Edward Syah Pernong. Katanya lagi, nama bapaknya tuh cowok udah dijadiin Nama Jalan di daerah kampung Alice sana. Jadi dari Bibit, Bebet, Bobot udah nga usah ditanya lagi deh”

“Tampang tuh cowok gimana, ganteng nga?” Tanyaku cukup kejam.

“Dibilang gw nga pernah liat Din, lagian nga penting kayak gimana itu cowok, biar gimanapun Alice nga bakalan berpaling dari gw. Secara batin –gw amat yakin- diliat dari matanya Alice, kalau di hatinya nga ada cowok lain selain gw sama bapaknya. Lo tau sendiri, gw udah deket sejak kecil Din. Sampe-sampe kalau ada sesuatu yang kita masing-masing sembunyiin di hati bisa ketauan meskipun tanpa disebutin.”

Penjelasan Kevin pada bagian ini sungguh mengagumkan.

“Terus gimana sikap Alice sama usaha keluarganya untuk jodohin dia?”

“Dia bikin alasan kalo masih belum siap, dan terikat sama ikatan dinas Management Trainee di Bank Niaga, lo tau kan sekarang Alice masih tugas kerja di Yogya?”

Ada peribahasa mengatakan: seekor singa akan melahirkan seekor singa. Tepat sekali jika peribahasa itu ditujukan buat pak Zein dan putrinya, Alice. Pak Zein selain berpendidikan tinggi, beliau itu PNS jujur, berdedikasi, dan memiliki integritas mumpuni dalam tugasnya di Depkeu. Sedangkan Alice mulai dari langganan juara umum di sekolah, masuk kuliah di UI tanpa melalui UMPTN alias PMDK, lalu lulus dengan predikat Cum Laude. Kemudian setelah lulus kuliah diterima di bank bonafid melalui pendidikan MT. Setelah berhasil lulus MT dalam waktu cukup 1 tahun, sudah dipastikan langsung bekerja pada posisi Manager atau Kepala Cabang dengan gaji dan tunjangan yang tergolong mewah.

Ya jelas tahapan posisi kerjanya bukan seperti kita umumnya : jadi karyawan outsource dulu berbulan-bulan, dengan gaji sebesar 2x biaya sewa kost. Lalu menjalani kontrak kerja selama 2 tahun, jika masa 2 tahun kontrak sudah habis, tapi masih dibutuhkan perusahaan, maka di suruh membuat fake resign letter untuk mengelabui Depnaker, kemudian teken kontrak baru lagi. Jika dalam masa kontrak kedua, performa kerja masih bagus secara konsisten, bisa diangkat jadi staff tetap dengan sebelumnya wajib lulus psikotest HRD dan melalui masa percobaan selama 3 bulan. Kemudian jika bisa betah lama bekerja sampai 10 tahun dan nasib masih bagus, bisa diangkat jadi Supervisor. Selanjutnya kalau garis tangan memang cukup cemerlang, beruntung bisa diangkat menjadi Manager.

“Jadi harapan gw cuma Alice itu sendiri,” Kevin melanjutkan.

“Cuma Alice masih bingung cari cara buat bicarain ini semua sama keluarganya. Kalau salah jelasin bisa fatal akibatnya, bukan bagi Alice, tapi bagi gw Din, kalau keluarganya udah merasa nga nyaman atas niat gw sama Alice, gw bisa jadi target pembunuhan para anggota kelompok suku!”

“Dibunuh?” Tanyaku heran sambil terkekeh.

“Ya nga cara secara kasar, main tusuk sama badik misalnya, bisa jadi pakai black magic.” Tidak berkurang seriusnya Kevin menjelaskan, meskipun aku masih menganggap remeh ocehannya.

“Setahu gw Pak Zein orangnya saleh Vin, sering jadi imam shalat, masa orang begitu masih punya sifat ashabiyah, apalagi syirik?”

“Dengerin, gw jelasin asal lo tau Din, dalam pakem suku Lampung Pepadun, segala sesuatu mengenai adat, terutama mengenai kelangsungan klan, harus dirembukin secara musyawarah. Alice itu secara biologis emang anak kandung dari Pak Zein, tapi secara adat dia itu simbol dari kedaulatan suku. Boleh dikata, 'milik bersama' klan tersebut. Kalau dia menikah sama lelaki di luar suku maka bisa mengancam kelangsungan silsilah kekerabatan klan itu sendiri yang teramat agung bagi mereka.”

Kevin sudah mulai detail menjelaskan akar masalahnya, aku jadi mulai serius mendengarkan.

“Beda dengan pak Zein yang agama Islamnya kuat dan terbiasa hidup heterogen di Depok ini. Mayoritas anggota suku yang masih tinggal di Lampung, dari lahir, hidup bersosialisasi, menikah, mati, semuanya hanya berkutat di daerahnya sendiri. Mereka nga pernah terpengaruh sama jaman yang notabene udah berubah. Jadi bisa elo perkirakanlah betapa kolot dan kuatnya adat yang mereka anut. Nah, diantara mereka, nga sedikit yang mahir menggunakan kekuatan ilmu hitam. Alih-alih kalau salah satu diantara mereka udah merasa tersinggung dengan ulah gw ke Alice, apa nga mungkin gw bisa jadi sasaran jahat ilmu tenungnya? ”

Kali ini, paranoidnya sudah tidak aku tertawakan lagi.

“Udah paham kan lo? Bukan cuma pak Zein masalah utamanya Din, tapi kesepakatan diantara pemegang adat itu yang jadi barang mahal. Satu hal, ini umpama, Pak Zein udah setuju sama gw, tapi meyakinkan saudara, para sesepuh, tetua adat, orang awan dalam suku itu sendiri, biar ikut setuju juga, bukan perkara mudah, kayak semudah membalikan telapak tangan cuy.”

Bengong aku dibuatnya, tak disangka bisa serumit itu masalahnya. Bingung mau kasih komentar apa lagi. Biasanya aku banyak minta masukan dari Kevin, Sang Penasehat Sepiritualku ini mengenai langkahku ke depan dalam hubungangku dengan para wanita. Kali ini, ia seperti orang papa menagih timbal balik nasihat dariku.

Kini pesanan kami, Mie Ayam Bakso dan Es Teh Manis sudah lengkap dihidangkan oleh mas Katam sendiri, sang owner. Seingatku dulu dia berjualan masih pakai gerobak dorong, kemudian karena pelanggannya semakin banyak, dan Bakso Katam mulai terkenal, barulah dia membuat lapak berupa tenda tetap di pinggir jalan Proklamasi. Terakhir karena usahanya cukup lumayan maju pesat, dia sudah bisa menyewa kios ruko persis di samping Gang Genta. Menurut teman-temanku yang tinggal di Depok II Tengah, Bakso Katam itu ibarat Mc Donald bagi mereka. Tempat makan keluarga yang sesuai selera, murah, enak, dan terjangkau.

Tanpa pikir panjang karena baunya tercium sedap membangkitkan selera, aku mulai menyantap mie kesukaanku ini. Terlebih dahulu aku tuangkan saus cabe produksi Sin Li Food made in Cibinong Bogor yang rasanya khas pedas manis, dan harum rempah-rempah. Kalau dibandingkan saus merk terkenal seperti ABC atau Indofood, saus ini tergolong saus murahan. Tapi anehnya, justru aku malah lebih berselera jika makan Mie Ayam dengan saus Cap Mangkok ini. Maklumlah, lidah kampung barangkali.

“Apa nga ada solusi lain?” Aku coba melanjutkan pembicaraan kami yang sudah mandeg. Sambil mengaduk-aduk mie, dicampur saus dengan sumpit.

“Ada... Tapi sulit banget, hampir nga mungkin deh buat gw Din”

Alhamdulillah aku berucap di dalam hati. Ada juga solusinya. Aku menebak ini pasti nekat jalan keluarnya. Tidak salah lagi ini pasti : kawin lari.

Runaway with Her, Vin?” Godaku sambil mulai cengengesan lagi.

“Wah..nga lah Din, mesti mikir duabelas kali kalau gw mau berbuat nekat kayak gitu. Lagian gw masih mikir masa depan Alice sama anak-anak gw nanti. Nga nyaman banget, hidup tanpa restu mertua sama sanak saudara.”

“Jadi mesti gimana lagi?”

“Ada upacara tertentu dalam adat suku Lampung Pepadun, kalau lelaki diluar klannya mau meminang gadis dari sukunya. Namanya pengangkonan kalau nga salah.”

“Apaan Vin,..peng..ang..kotan?” Aku bertanya dengan memincingkan mata dan suara agak keras seperti orang tua yang sudah mulai rusak pendengarannya.

“Peng..ang..konan,” tegas Kevin. “Upacara pengangkatan anak, kalau bahasa kita.”

“Coba jelasin, gimana prosesnya? Syaratnya apa aja?”

“Jadi dalam prosesi upacara adat pengangkonan itu, gw akan di cariin bapak angkat dari suku Pepadun. Setelah jadi anak angkat, melalui bapak angkat ini, dia bermusyawarah sama kepala adat agar mensyahkan gw sebagai masyarakat adat Lampung Pepadun. Setelah resmi jadi bagian masyarakat adat mereka, barulah gw boleh menikah dengan Alice”

“Nah itu ada jalan terang, terus apa yang bikin elo trus mikir kalo itu nga mungkin buat elo?”

“UUD, ujung-ujungnya duit Din, upacara itu nga cuma sekedar basa-basi ritual aja. Biayanya gede banget, karena disamping mesti bayar uang adat atau disebut uang Uno, ngundang petinggi adat, semua angggota suku, sanak saudara, juga ada pesta besar segala.“

“Kira-kira berapa biayanya?” Atas pertanyaan ini, Kevin memandang malas padaku.

“Coba aja elo itung biaya kasarnya : bayar uang Uno, ngundang para petinggi adat, ngundang orang satu kampung, motong sapi minimal 3, belasan kambing, berkarung-karung beras, beratus-ratus kilo ikan, bikin kue-kue, makanan buat hidangan khusus beraneka ragam, belum lagi kalau ada panggung hiburan.”

Sampai disini penjelasan Kevin aku sudah membuat aku gerah. Ini anak pasti sedang mengigau.

“Itu dalam 1 hari, coba banyangin kalo acaranya makan waktu 7 hari, 7 malam?”

Mbuah..spontan es teh manis yang sedang aku hirup tersembur keluar.

“Uedan, ini upacara adat, apa upacara bikin melarat Vin?! Elo salah info kali?!”

“Udah elo jangan kaget dulu, itu baru perhitungan biaya pengangkonan, ada lagi uang untuk lamaran atau pineng bahasa adat sana , jumlahnya beda lagi Din”

“Aje gile, biaya apa lagi?! Berapa hah..puluhan juta?!” Seperti rentenir pelit yang enggan memberikan hutang pada petani miskin, aku berkata padanya sambil melotot.

Kevin langsung menepuk jidat, seraya tertawa mengejek tebakanku.

“Alice itu keturunan tertinggi Din, patokan pembayaran itu bisa diliat dari strata di bawahnya, nah anak bibinya pernah dilamar , uang pinengnya aja sebesar 100 juta, jadi kalau untuk Alice ya mestinya lebih dari itu”

Astagfirullah al aziiim, innalillahi wa inna ilaihi rojiuuun.” Aku beristigfar dan berserah diri dengan takzim sambil mengelus dada, tarikan nafasku terasa berat.

Pertama aku memohon ampun atas segala dosa yang pernah aku perbuat, kedua aku merendahkan diri, betapa aku ini milik Allah dan kelak akan kembali padaNya. Tak bisa dibayangkan temanku yang aku tahu persis kehidupan, penghasilan, dan keluarganya, bisa di timpa cobaan yang amat berat ini.

“Begini Vin,” kataku amat meyakinkan. “Yang jelas sudah ada titik terang kalau suku Lampung klan pak Zein itu tidak sekolot yang dikira, jadi minimal masih bisa ada harapan untuk menikah sama Alice, dan sori-sori aja, gw nga seratus persen percaya sama elo tentang biaya dan tetek-bengek yang mesti dikeluarin untuk upacara adat pengangkonan itu. Bisa jadi ini karena sikap paranoid elo sama keluarga Alice, jadi elo berpikiran serumit itu. Pak Zein orangnya moderat, disamping dia juga amat sayang sama putri sulungnya itu, jadi apapun yang Alice minta pasti dikabulkan!”

“Hmn.. betul juga lo Din, bisa jadi begitu, semua cuma prasangka, emang sih belum sekalipun gw ngobrol intens sama orangtuanya Alice, apalagi ke arah serius bicarain hubungan gw sama anaknya. Pak Zein wibawanya gede banget, dia baru ngedehem aja, gw udah ibarat kancil yang denger harimau mengaum, hehehe.. mengkeret ciut, tapi yah elo doain ajalah, semoga ada jalan keluarnya.”

Sinar mata Kevin sudah mulai terlihat bergairah. Selesai menghabiskan mie ayam bakso dan minum es teh manis, dia mulai menyulut rokok lagi. Hisapannya sudah mulai santai. Asap yang keluar dari mulut dan hidungnya mengalir lepas seperti tanpa dihembuskan.

“Gimana Sunny? Masih suka missed call elo Din?”

Pertanyaan Kevin ini seolah membebaskanku pada problemnya yang belum usai dan sulit dicari pemecahannya. Inilah yang aku suka dari sahabatku yang satu ini. Selalu peduli, dan siap sedia menerima curahan hati siapapun meskipun masalahnya sendiri masih segunung.

“Udah hampir setahun, gw nga berhubungan lagi sama dia, tiap kali dia telpon, nga pernah gw angkat atau callback, males Vin, cape ama adatnya.”

Sejujurnya, ini amat naif buatku, sok jual mahal, benci tapi rindu, padahal hari-hari aku lalui kosong lagi monoton. Dan jika, cukup menerima dering missed call dari Sunny, membuat gairahku menyala lagi. Seolah dia sudah jadi miliku seutuhnya dan sudah pasti mantap ada dalam genggamanku, tapi sesungguhnya semu karena aku hanya diam tak meraihnya. Senaif dan sebodoh-bodohnya lelaki saat itu, ya akulah orangnya.

“Si Tenyom, masih jalan sama dia?

Kevin menanyakanku tentang June. Teman dekatku saat ini, dia amat manis, eye cathing, anak gaul, sering tertawa lepas, supel, jarang –hampir tidak pernah- terlihat murung. Karena dia memiliki boneka Monyet lucu di meja kerjanya, jadi kami memanggil dia nama hewan itu, kami ucapkan secara terbalik : Tenyom.

“Hehehe,” aku tertawa getir. “Masih Vin, yah biasa gitu-gitu aja, datar.”

“Udah gw bilang Din, baca hati nurani, ngapain repot-repot ngebangun perasaan baru, lebih susah dari bangun gedung cuy, masalah sikap, sifat, mana ada pasangan yang bener-bener klop, maklumin kekurangan masing-masing lah, elo jangan nyiksa perasaan sendiri.”

Yang dimaksud Kevin itu adalah tentang hubunganku dengan Sunny dan belajar menerima serta memaklumi adat dia apa adanya.

“Sebaliknya, elo nga kasian apa sama perasaan Tenyom? Diajak jalan aja, status nga jelas”

Sang 'Penasihat Sepiritualku' kini sedang memainkan peran aslinya, dia mulai menyusupkan wejangannya. Kalau aku tulis semua perkataannya dalam hurup Latin bisa terangkum dalam berbab-bab, sedangkan kalau aku tulis dengan hurup Arab , ya bisa habis berjuz-juz.

Dari topik pembicaraan baru itu, mulailah Kevin banyak mengkritik sekaligus memberi masukan padaku. Tidak peduli dengan ramainya peminat Bakso Mas Katam yang datang, bahkan Mas Katam sendiri sesekali sempat ikut nguping pembicaraan kami. Sampai-sampai karena sudah kenal dan hapal dengan kami, para pengamen enggan masuk ke kiosnya karena lagunya pasti akan terdistorsi oleh curatan hati kami yang melebihi sound system Dolby.

Silahkan baca juga...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar